Review Novel : GIRLS – Minato Kanae
Sinopsis/Blurb :
Yuki
menganggap pengakuan itu sekadar episode untuk menyombongkan diri membuat Yuki
ingin menyaksikan yang lebih hebat lagi dari pengalaman si anak pindahan. Ia
tak hanya ingin melihat mayat, ia ngin menyaksikan proses manusia menyambut
ajal.
Di
lain pihak, Atsuko yang merasa dirinya lemah,
mengira akan bisa memperkuat hatinyajika mampu menyaksikan orang yang
sekarat, dan mungkin bisa memperbaiki persahabatannya dengan Yuki.
Tanpa
saling tahu, Yuki dan Atsuki menjalankan rencana mereka masing-masing demi
melihat kematian yang sempurna. Mereka berlomba-lomba mendahului maut, tetapi
tak mengira bahwa keputusan-keputusan kecil mereka akan memicu reaksi berantai
yang perlahan menjadi tidak terkendali.
Judul : Girls
Penulis :
Minato Kanae
Penerbit, Tahun terbit : Haru, November 2022
[cetakan ke enam]
Jenis Buku : novel J-lit.
Genre : Crime Fiction
Tebal buku : 344 hlm; 19 cm
~~~**~~~
Novel J-Lit dengan
genre fiksi-kriminal jadi hobiku akhir-akhir ini. Selain Akiyoshi Rikako,
novelis Minato Kanae karyanya menarik perhatianku. Karya-karya novelis jepang
dengan genre fiksi criminal, misteri dan psikologi thriller akhir-akhir ini
sering membuat penasaran. Awalnya ingin membaca Penance lebih dulu, karena lebih
sering direkomendasikan dan dibahas di forum literasi di X (twitter). Tetapi
ternyata lebih dulu dapat Girls, meskipun akhirya tetap CO Penance dengan harga
diskon yang lumayan. Hehehhehe….
Girls menarik
perhatianku dari sinopsisnya. Belum apa-apa sudah membahas mengenai kematian,
dari dua POV gadis SMA. Novel ini dibuka dengan surat wasiat yang membicarakan
tentang kematian, kemudian sepanjang novel rangkaian cerita dibuat dari dua
POV. Atsuko dan Yuki, dua tokoh utama dalam novel Girls. Pada awalnya cukup
susah membaca novel ini, karena pergantian POV tidak begitu diperlihatkan
dengan jelas. Awal cerita, kedua POV tidak memiliki perbedaan signifikan, jadi
bab permulaan harus aku baca dua kali agar memahami POV yang berbeda. Baru
sadar ternyata perbedaan POV ada pada tanda baca bintang, jika tanda baca
bintang satu * adalah milik Yuki, dan tanda baca bintang dua ** adalah milik
Atsuko. Aku harus menandai novelnya agar ingat, soalnya agak susah kalo lupa.
Sepanjang cerita dalam
novel ini, banyak sekali pembahasan mengenai kematian. Kesan dari masing-masing
tokoh adalah suram, dengan caranya sendiri. Yuki begitu suram, sebab dalam
gambaran di POV Atsuko, ia adalah gadis yang jarang memiliki ekspresi wajah. Namun
sebenarnya Yuki jago menulis dan menggambarkan perasaan melalui rangkaian
kalimat. Bahkan dalam cerita ini, Yuki dikisahkan menulis novella (menulis
dengan tangan) yang kemudian menjadi titik permulaan dari keseluruhan kisah
dalam novel Girls. Sedangkan Atsuko, kesuramannya digambarkan dari POV Yuki adalah
karena ia sendiri sering memiliki pikiran negative dan selalu merasa tidak ada
orang yang memahami dirinya. Setiap hal dan kegiatan yang dilakukan Atsuko bagi
Yuki adalah penyesuaian berlebihan terhadap lingkungannya.
Pada setiap POV,
masing-masing membingkai perasaan tokoh terhadap tokoh lain dengan kesan yang
menyesakkan dan juga suram. Tetapi kesuraman dan perasaan sesak itu cenderung
berpusat pada Yuki, yang menurutku banyak sekali memendam perasaannya sendiri.
Ia begitu peduli tetapi juga begitu muak dengan Atsuko, sahabatnya. Membaca
novel ini, mungkin kalian juga akan kesal dengan Atsuko yang selalu protes
tentang banyak hal, juga menganggap tidak ada siapapun yang memahami perasaanya
bahkan Yuki yang merupakan sahabatnya. Padahal sebenarnya, Yuki juga sangat
berusaha memahami perasaan Atsuko. Meskipun di sisi lain, Yuki tertekan dengan
masalah di keluarganya.
Novel Girls berpusat
pada dinamika persahabatan Yuki dan Atsuko, dengan bumbu-bumbu reaksi remaja
SMA yang labil dan juga kesuraman pembahasan mengenai kematian. Keduanya seolah
berlomba dengan cara masing-masing untuk menemui atau menyaksikan kematian itu
sendiri. Pembicaraan kematian dalam novel ini seolah hal sangat biasa, tetapi
di sisi lain, seperti ada perasaan ragu dan takut saat membahasnya lebih dalam.
Tidak ada cerita yang triggering kecuali pada POV Yuki, saat mengenai neneknya
yang menderita Alzhaimer. Kematian dalam novel ini seolah menjadi perekat
persahabatan yang sempat merenggang.
Pada gaya penulisan
novel, penerjemah berhasil membuat terjemahan yang nyaman dibaca tanpa
mengurangi nyawanya. Karena dari gaya pembagian bab novel, beberapa ungkapan
dan metafora yang dipakai, sepertinya novel dalam bahasa aslinya lebih
menggugah dan menantang untuk dibaca. Jarang ada penulis Indonesia dengan gaya
menulis seperti Minato sensei di novel Girls. Lebih bernyawa sebab
masing-masing POV begitu hidup dengan perasaan yang dibawa, rasa penasaran
terhadap kematian dari Yuki maupun Atsuko, pada akhirnya mereka hanyalah remaja
yang penuh rasa penasaran. Sebab, SPOILER ALERT, tidak ada kematian sadis
bagaikan pembunuhan keji, hanya kematian diiring ironi.
Kenapa diiringi ironi?
Karena, seperti yang
disinggung dalam synopsis novel ini. Tanpa disadari, Yuki dan Atsuko telah
memicu reaksi berantai dari peristiwa-peristiwa yang tidak mereka duga. Semua
hal saling terkait di sekeliling mereka, berdasarkan apa yang telah terjadi,
entah dari keputusan tidak sengaja maupun yang direncanakan. Akhir dari novel
ini adalah sebuah ironi. Masing-masing tokoh mengalami tragedi, yang dipotret
kemudian disampaikan Mintao sensei dengan halus, seolah semua itu takdir.
Rangkaian peristiwa-peristiwa itu pada akhirnya adalah cara Yuki dan Atsuko
merekatkan kembali persahabatan mereka.
Sebenarnya aku cukup
kecewa dengan endingnya, karena mengira salah satu ataupun kedua gadis itu akan
terlibat dalam pembunuhan. Benar-benar membunuh seperti di novel-novel
thriller-kriminal. Ternyata tidak sekejam itu. Hanya saja, simpatiku cenderung
lebih besar kepada Yuki. Merasa lebih relate karena pernah ada dalam posisi
yang sama yaitu sebagai care-giver
lansia. Apa yang Yuki alami dalam cerita ini terasa dekat denganku, kesuraman
dan perasaan yang menumpuk dalam dirinya bisa kupahami. Hebatnya, ia bisa tahan
dengan Atsuko yang banyak mengeluh, mengomel dan selalu membawa kalimat, “Yuki
mana mungkin mengerti perasaanku?”. Kalau jadi Yuki mungkin sudah ku tinggal
saja sahabat macam Atsuko, tidak tahu namanya bersyukur.
Selebihnya, novel ini
lumayan seru untuk dibaca. Sayangnya awal novel membosankan dan agak susah
dimengerti. Bagian serunya justru dipadamkan dengan kisah persahabatan yang
sedikit berlebihan menurutku. Mungkin yang suka novel dengan permainan POV,
bisa membaca ini dalam sekali duduk. 7.8/10 dari ku.
Mulai membaca : 16 Februari
2024
Selesai membaca : 18
Februari 2024
Komentar
Posting Komentar