CERPEN : Harus Usaha....!!
Rara pulang sekolah dengan
muka cemberut. Ia melepas sepatunya dengan kasar. Dengan kesal dilemparnya tas
sekolahnya di atas kursi teras rumahnya. Ia duduk sambil memandangi pohon
rambutan di halaman rumahnya. Snagat rimbun dan teduh. Lebih enak lagi kalau
makan buahnya yang sudah makan, uuhh....pasti menyegarkan.
Namun sayangnya, hampir semua buah
rambutan di halaman rumahnya itu telah hilang. Sebenarnya, rambutan-rambutan
itu ia berikan pada Bu Evi. Guru Bahasa Indonesia Rara. Ya, guru Rara yang cantik itu sedang
hamil muda, dan sedang mengidam. Kebetulan, Bu Evi sedang mengidam rambutan
setengah matang. Kebetulannya lagi, pohon di halaman rumahnya itu baru saja
berbuah. Entah kenapa, Rara langsung saja memutuskan memetik sendiri rambutan
yang setengah matang itu untuk Bu Evi. Bahkan, Rara yang memetiknya sendiri.
“Huuhhh!! Tau gitu, nggak semua
rambutan nyaris matang itu aku kasih ke Bu Evi!!! Mana nilai ku masih sama aja
lagi!!” omel Rara kesal. Ia mengambil lembaran ulangan Bahasa Indonesianya yang
mendapat nilai 75 itu.
Masih teringat jelas di benak Rara,
saat Bu Evi menanyakan pada teman-teman sekelasnya(termasuk dirinya) siapa yang
tahu dimana tempat membeli rambutan setangah matang. Kejadian itu sekitar
seminggu lalu, sebelum ulangan Bahasa Indonesia dimulai.
Rara tanpa mengatakan ke Bu Evi, sepulang
sekolah langsung memtik rambutan yang sebenarnya belum sepenuhnya matang. Padahal,
buah favoritnya ini kalau sudah matang akan sangat segar dan manis.
Ya, Rara berharap. Jika ia memberikan
sekeranjang rambutan pada Bu Evi. Ia akan mendapat nilai ulangan yang baik. Seperti
sebuah imbalan. Tetapi, kenyataanya. Nilai nya sama saja, dibawah rata-rata
nilai. Rara masih saja cemberut dan kesal. Menyesal telah memberikan buah
favoritnya itu.
“Dooorr....!!!”
“Huuwaa....!!! aduh.... Mbak Rina!!! Bikin
kaget aja!”omel Rara.
Kakak perempuannya itu hanya terkekeh.
Mbak Rani pun ikut duduk disamping Rara.
“Kamu nyaitu aneh, pulang sekolah kok
cemberut aja..... ada apa sih sama adikku ini....”
Rara menatap Mbak Rani ragu. kalau ia
cerita, yang ada dia pasti di ejek mendapat nilai jelek,
“Kenapa dik?? Ayo cerita.... siapa
tahu Mbak bisa bantu....”
“Nggak ahh...yang ada aku diejek sama
Mbak Rani.....”
“Hehhehe..... nggak kok..... ayo
cerita....”
Rara memulai ceritanya. Mbak Rani
mendengarkan dengan serius, dan sambil tersenyum-senyum melihat gerutuan Rara.
“Siapa yang kesel coba mbak?? Iya kan?”
“Ya....yang salah sebenarnya kamu
Ra...”
Rara melongo, lalu kembali cemberut.
“Lhah...Kok aku yang salah?? Gurunya
aja mbak yang tega ngasih nilai segitu....”
“Halahh...kamu ini...udah mau kenaikan
kelas masih nyantai-nyantai....udah makan sana ganti baju dulu...”, ujar Mbak
Rani sambil nyeret Rara ke dapur untuk makan.
“Lhoh....udah pulang Ra? Kok baru
masuk rumah?” tanya Ibu, saat melihat Rara keluar kamarnya.
“Nggak kok Bu...”
“Udah makan dulu, Rin....temenin adik
mu sana.... ibu mau ada arisan dulu...jaga rumah yan kalian berdua...”
~~**~~
“Ayolah
mbak..... kasih saran gitu.....”rajuk Rara sambil menarik-narik tangan Mbak
Rani yang sedang membaca majalah.
“He-em....mau
apa sih?? Ya sana belajar....jangan santai-santa terus...”
“Yahh..nggak
tau perasaan adiknya ya.... “ujar Rara kesal.
Mbak
Rani menghentikan membaca majalahnya, lalu menatap Rara.
“Ra....dengar
ya....” Mbak Rani menghentikan kata-kata nya sejenak.
Rara
dibuatnya semakin penasaran.
“Mbak
dulu, waktu masih SLTA ada pelajaran ketrampilan menjahit, dapat nilai 8. Tapi anehnya,
sampai sekarang mbak nganggur dan nggak bisa jahit apa-apa.”
“Lhoh....?
kok aneh, nilai menjahit 8 tapi nggak bisa menjahit?” cibir Rara sambil
terheran-heran.
“Ya
iyalah...yang dikumpulkan bukan hasil karya mbak... mbak bayar orang lain untuk
menjahit, terus mbak kumpulkan.”jawab Mbak Rani enteng.
“Lha
itu yang bodoh mbak Rani...!!”tukas Rara cepat.
“Terus,
kamu yang minta nilai Bahasa Indonesia 8 dapat darimana kalau gurunya cuma dikasih
sekeranjang rambutan setengah matang? Emang bisa nilai ditukar sama rambutan
kayak gitu??” tukas Mbak Rani. Membuat Rara terdiam membisu.
Ia
terlihat berpikir lama. Mbak Rani menatap adiknya itu dengan lembut,
“Dik....yang
harus kamu lakukan itu, bukan berharap tanpa bekerja keras. Apalagi hanya
dengan memberikan guru seperti ‘sogokan’. Itu nggak akan membuatmu mendapat
ilmu....lagi pula, niatan mu memberikan rambutan itu bukan karena keikhlasan
kan?”
Rara
kembali terdiam, cukup lama dia berpikir.
“Jadi....aku
harus berusaha sendiri, dan.....dan melakukan sesuatu dengan ikhlas....?” ujar
Rara lirih. Mbak Rani mengangguk mengiyakan,
“Nggak
usah putus asa, nilai kamu sekarang mungkin jelek. Nah, ada baiknya kamu
memperbaiki secepatnya. Mumpung ada waktu untuk belajar sebelum Ujian Kenaikan
Kelas dimulai kan?” saran Mabk Rani sambil mengelus rambut Rara. Rara
mengangguk mantab.
Sekarang,
tak ada lagi hal yang membuat Rara cemberut dan kesal. Ia bertekad akan berubah
dan belajar lebih keras lagi.
“Uhh...makasih
buat Mbak ku yang cuantik ini....”ucap Rara sambil merangkul Mbak Rani.
“Eiit....
beliin mbak es dawet dong...gara-gara rambutan nya kamu kasih ke Bu Evi, nggak
ada pelepas dahaga nih...”ujar Mbak Rani.
“Ahh....Mbak
Rani....”
~
~
~
~
~
Author
and Post by: Aura Shava Dhinda Salsabila
Komentar
Posting Komentar