Mengapa Orang akan Menjerit dan Mngumpat Saat Kesakitan?


            Apakah sering melihat ketika orang kesakitan berteriak atau mengumpat? Itu bukanlah hal yang aneh kalau kita mendengar atau menyaksikan orang menjerit saat kesakitan atau ketakutan. Ketika mnonton film horor misalnya, sering kita mendengar orang berteriak karena takut atau terkejut.
            Sebenarnya, bukan hanya manusia yang melakukan itu. jika diperhatikan, hewan juha akan mengeram karena takut atau merasa dalam bahaya. Geraman hewan dan jeritan manusia adalah reaksi naluriah untuk melindungi diri dan menghilangkan rasa takut. Dengan berteriak, manusia bisa melepaskan perasaan takutnya sekaligus menarik perhatian orang lain yang mungkin dapat menolongnya dari perasaan takut itu.
            Melepaskan rasa takut dengan berteriak akan sangat terlihat dalam arena peperangan. Kalau kita menyaksikan film-dilm yang menhggambarkan perang atau pertempuran, para prajurit atau orang-orang yang bertempur itu berteriak dengan semangat sambil maju ke arah musuh. Teriakan itu juga didasari hal di atas—melepaskan ketakutan—juga membuat musuh menjadi takut.
            Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin lebih sering mendengar wanita berteriak ketika ketakutan. Sebenarnya, kaum pria juga mempunyai naluri yang sama, mereka juga ingin berteriak ketika merasa takut, namun lebih banyak yang menahan diri untuk tidak melakukannya. Hal itu tak bisa lepas dari sistem sosial kita yang menempatkan pria sebagai ‘kaum jagoan’ hingga sebagian besar pria akan merasa ‘gengsi’ untuk berteriak saat ketakutan.
            Selain berteriak saat ketakutan, kita juga sering kali mengumpat saat kesakitan. Umpatan itu sering keluar tanpa sadar bersama sakit yang kita rasakan. Ketika tanpa sengaja kaki kita terantuk meja, misalnya, mulut kita sering kali mengeluarkan umpatan secara spontan. Apakah mengumpat juga reaksi naluriah manusia?
            Untuk hal ini, para peneliti Keele University, Inggris, secara khusus mencari tahu alasan mengapa manusia seperti punya kecendurungan mengumpat saat merasa sakit. Berdasarkan penelitian, mereka menarik kesimpulan bahwa mengumpat ternyata memiliki efek penghilang rasa sakit yang kuat, terutama bagi orang yang jarang melakukannya. Mengumpat, kara mereka, bisa mengurangi rasa sakit fisik pada situasi tertentu.
            Utnuk menguji teori itu, tim peneliti mengumpulkan sekelompok mahasiswa, dan diminta mencelupkan tangannya ked alam air dingin. Air itu sangat dingin, sehingga para mahasiswa itu pun—secara spomtan—mengumpat dan mengeluarkan kata-kata kasar karena terkejut. Beberapa saat setelah itu, kelompok mahasiswa yang sama diminta melakukan hal yang sama—memasukkan tangan ke dalam air dnegan suhu yang sama seperrti sebelumnya—dan kali ini umpatan mereka lebih ‘sopan’ tidak sekeras atau sekasar sebelumnya.
            Selain itu, para mahasiswa yang mengumpat berkali-kali lebih mampu menahan tangan di dalam air dingin lebih lama dibanding mahasiswa yang ‘malu-malu’ untuk mengumpat. Kenyataan itu pun menegaskan teori par apeneliti sebelumnya, bahwa mengumpat memiliki hubungan dnegan penigkatan toleransi rasa sakita yau kemampuan menahan rasa sakit. Mereka juga menemukan bahwa efek tersebut empat kali lebih mungkin bekerja pada mahasiswa yang jarang melakukan umpatan. Hal itu terjadi karena mengumpat memicu respons yang mereka sebut ‘pertarungan atau pelarian’.
            Dalam laporannya, tim dari Keele University menyatakan bahwa denyut jantung para mahasiswa yang mengumpat berulang-ulang mennjukkan peningkatan agresi. Dalam respons pertarungan klasik atau pelarian,hal itu bisa mengecilkan kelemahan dan mendukung toleransi rasa sakit menjadi lebih baik. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa mengumpat tidak hany amemicu respons emosional, tetapi jug afisik. Hal itu mungkin bisa menjelaskan mengapa terdapats ejarah kutukan manusia berabad-abad, yang bahkan masih berlanjt hingga saar ini.
            “Menyumpah, mengumpat atau apa pun itu, telah dilakukan selama berabad-abad dan bersifat universal dalam fenomena linguistik manusia,” kata Dr. Rixhard Stephens, ketu atim penelitu. “Penelitian kami menunjukkan alasan potenisal mengapa sumpah serapah atau kutukan treus terjadi dan masih ada hingga hari ini.”
            “Berdasarkan penilitian itu pula, diketahui bahwa aktivitas mengumpat atau mengutuk membangkitkan pusat respons otak bagian kanan. Sedangkan sebagian besar produksi bahasa manusia terjadi dibagian otak kiri. Artinya, umpatan memang keluar secara spontan, bukan direncanakan sebagaimana kalau kita berbicara secar a normal. “Mengumpat memicu respons emosional ketika orang sedang tertekan,” ujar Dr. Rixhard Stephens.

            Meski kita mungkin lebih sering mendengar atau menyaksikan laki-laki mengumpat, namun sebenarnya wanita juga inemiliki kecenderungan yang sama. Dalam hal ini kemungkinan besar, wanita lebih mampu menjaga sopan-santunnya sehingg amungkin pula mereka mengumpat tanpa bersuara.  

Komentar

Postingan Populer